Sabtu, 28 Agustus 2010

FILOSOFI MELATI


Filosofi Melati

Aku
ingin menjadi

seperti melati..

Yang
tak pernah
berdusta dengan apa yang ditampilkannya..

Yang
tak memiliki warna dibalik warna putihnya..

juga
tak pernah menyimpan warna lain untuk berbagai keadaannya,

baik
panas, hujan, terik ataupun badai yang datang ia tetap putih..

Kemanapun
dan dimanapun ditemukan, melati selalu putih..

Pada
debu ia tak marah, meski jutaan butir menghinggapinya..

Pada
angin ia menyapa,

berharap
sepoinya membawa serta debu-debu itu agar ia nya tetap putih
berseri..

Karenanya,
melati ikut bergoyang saat hembusan angin menerpa..

Kekanan
ia ikut, ke kiri iapun ikut..

Namun
ia tetap teguh pada pendiriannya, karena kemanapun ia mengikuti arah
angin,

ia
akan segera kembali pada tangkainya..

Pada
hujan ia menangis,

agar
tak terlihat matanya meneteskan air diantara ribuan air yang
menghujani tubuhnya.

Agar
siapapun tak pernah melihatnya bersedih,

karena
saat hujan berhenti menyirami,

bersamaan
itu pula air dari sudut matanya yang bening itu tak lagi menetes.

Sesungguhnya,
ia senantiasa berharap hujan kan selalu datang,

karena
hanya hujan yang mau memahami setiap tetes air matanya.

Bersama
hujan ia bisa menangis sekeras-kerasnya untuk mengadu,

saling
menumpahkan air mata dan merasakan setiap kegetiran.

Karena
juga, hanya hujan yang selama ini berempati terhadap semua rasa dan
asanya.

pada
hujan juga ia mendapati keteduhan, dengan airnya yang sejuk.

Pada
tangkai ia bersandar agar tetap meneguhkan kedudukannya,

memeluk
erat setiap sayapnya, memberikan kekuatan dalam menjalani
kewajibannya

Agar
kelak, apapun cobaan yang datang,

ia
dengan sabar dan suka cita merasai,

bahkan
menikmatinya sebagai bagian dari cinta dan kasih Sang Pencipta.

Bukankah
tak ada cinta tanpa pengorbanan? Adakah kasih sayang tanpa cobaan?

Pada
dedaunan ia berkaca, semoga tak merubah warna hijaunya.

Karena
dengan hijau daun itu, ia tetap sadar sebagai melati harus tetap
berwarna putih.

Jika
daun itu tak lagi hijau, atau luruh oleh waktu,

kepada
siapa ia harus meminta koreksi atas cela dan noda yang seringkali
membuatnya tak lagi putih?

Pada
bunga lain ia bersahabat.

Bersama
bahu membahu menserikan alam, tak ada persaingan,

tak
ada pe
rlombaan
menjadi yang tercantik karena masing-masing memahami tugas dan
peranannya.

Tak
pernah melati iri menjadi mawar, dahlia, anggrek atau lili, begitu
juga sebaliknya.

Tak
terpikir melati berkeinginan menjadi merah, atau kuning, karena ia
tahu semua fungsinya sebagai putih.

Pada
matahari ia memohon,

tetap
berkunjung di setiap pagi mencurahkan sinarnya yang menghangatkan.

Agar
hangatnya membaluri setiap sel tubuh yang telah beku oleh pekatnya
malam.

Sinarnya
yang menceriakan, bias hangatnya yang memecah kebekuan,

seolah
membuat melati merekah dan segar di setiap pagi.

Terpaan
sinar mentari, memantulkan cahaya kehidupan yang penuh gairah,
pertanda melati siap mengarungi hidup,

setidaknya
untuk satu hari ini hingga menunggu mentari esok kembali bertandang.

Pada
alam ia berbagi,

menebar
aroma semerbak mewangi nan menyejukkan setiap jiwa yang bersamanya.

Indah
menghiasharumi semua taman yang disinggahinya,

melati
tak pernah terlupakan untuk disertakan.

Atas
nama cinta dan keridhoan Pemiliknya,

ia
senantiasa berharap tumbuhnya tunas-tunas melati baru,

agar
kelak meneruskan perannya sebagai bunga yang putih.

Yang
teta
p berseri
disemua suasana alam.

Pada
unggas ia berteriak,

terombang-ambing
menghindari paruhnya agar tak segera pupus.

Mencari
selamat dari cakar-cakar yang merusak keindahannya,

yang
mungkin merobek layarnya dan juga menggores luka di putihnya.

Dan
pada akhirnya, pada Sang Pemilik Alam ia meminta,

agar
dibimbing dan dilindungi selama ia dib
erikan
kesempatan untuk menjalani setiap perannya. Agar dalam berperan
menjadi putih, tetap diteguhkan pada warna aslinya,

tidak
membiarkan apapun merubah warnanya

hingga
masanya mempertanggungjawabkan semua waktu, peran, tugas dan
tanggungjawabnya. Jika pada masanya ia harus jatuh, luruh ke tanah,

ia
tetap sebagai melati, seputih melati. Dan orang memandangnya juga
seperti melati.

Dan
aku kini…

Aku
adalah melati yang telah rusak oleh cakaran unggas..

Yang
telah lusuh oleh jutaan debu..

Yang
telah terinjak oleh kaki-kaki kejam..

Kini
aku adalah melati yang terbuang..

Melati
yang pasrah menjelang ajal..

Melati
yang lelah menjalani waktu..

( KUTIPAN )